Selasa, 27 Mei 2014

Tanam Mangrove Belasan Tahun, Usaha Martin Tak Diakui Pemerintah

Dion Umbu Ana Lodu - Sindo TV
Mario di lahan mangrove (foto: Dion Umbu AL/Sindo TV)
News Okezone.com SUMBA TIMUR - Banyak kalangan yang sebenarnya peduli pada lingkungan sekitarnya, namun tak dipungkiri sedikit di antara mereka yang mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Kok bisa?

Ya, karena hal itu seakan dianggap lumrah di negeri yang dijuluki ’Tanah Surga’ di mana tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Kondisi itulah yang membuat seseorang mengambil langkah mundur jika tak punya tekad baja.

Mario Marthen Terinathe, salah satu dari mereka yang memiliki tekat baja itu. Keterbatasan ekonomi tak membuat rasa kepeduliannya terhadap lingkungan pupus.

Hampir setiap hari dengan kaki telanjang, Mario menyusuri jalanan setapak yang merupakan perpaduan antara struktur tanah keras, berpasir, dan tanah bercampur lumpur di sekitar tempat tinggalnya. Ia menetap di Kelurahan Kemala Putih, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Tapak kaki, sentuhan tangan, dan tekad kuatnya saban hari dicurahkan untuk menanam, merawat, dan melestarikan tananam bakau (mangrove). Tekad itu bahkan ia tanamkan pada keluarganya.

”Saya juga ajak anak-anak untuk sama-sama tanam bahkan beberapa tahun lalu sebelum saya kredit motor, saya dan anak-anak jalan kaki sampai ke Londa Lima untuk cari anakan dan bibit bakau,” jelasnya.

Melestarikan lingkungan tak cukup dengan kata, namun harus dibuktikan dengan tindakan nyata, urainya ketika ditanya mengenai motivasi menanam mangrove.

”Sejak akhir 1998, saya mulai terpanggil untuk menanam dan lestarikan bakau. Anak TK di Makassar yang jadi inspirasi saya. Kala itu, saya melihat anak TK kok bisa menanam dan peduli dengan kelangsungan bakau, kok saya yang jauh lebih tua dan mestinya lebih bijak dan peduli kok tidak bisa. Makanya saat saya pulang ke Waingapu, saya mulai menanam bakau,” urai Mario.

Walau mengaku tak miliki motivasi untuk mendapat penghargaan dan apresiasi dari pemerintah, tetap saja terdengar lirih nada kecewa yang terlontar dari bibir Mario. Bagaimana tidak, lahan kosong yang sudah 'disulap'nya menjadi hutan, diklaim sebagai tanah pemerintah. Padahal, di antara tanaman mangrove itu ia mencari nafkah dengan membudidayakan bandeng dan udang.
”Saya tanam bakau, lalu bangun beberapa gundukan seperti bukit-bukit kecil di daerah yang dulunya tak bertuan dan gersang. Ini semata untuk melestarikan lingkungan terutama wilayah pesisir dari ancaman abrasi dan bukan mustahil bencana tsunami. Setelah tanaman bakau jadi dan beranjak menjadi hutan, datang aparat pemerintah menanam patok atau pilar yang menyatakan wilayah ini tanah pemerintah. Saya bukan melawan pemerintah atau mau milikinya, hanya heran, kok sewaktu belum ada tanaman bakau, juga tambak bandeng dan udang saya, kenapa tidak dipatok? Saya juga heran katanya ini tanah pemerintah, namun justru ada beberapa warga yang justru bisa miliki sertifikat?” paparnya kecewa.

Jangankan untuk mendapat pengakuan, kunjungan staf selevel penyuluh dari instansi terkait untuk sekadar memberi motivasi atas usahanya-pun tak pernah terjadi. ”Staf paling rendah dari dinas terkait satupun tak pernah datang untuk sharing. Juga tidak ada penyuluh yang datang beri motivasi atau bimbingan teknis tentang pengembangan dan pelestarian bakau, apalagi kepala dinas?"
"Yang ada staf dinas datang beberapa waktu lalu untuk foto-foto ini bakau yang saya tanam. Saya sempat tegur tapi dia bilang ini mau buat dokumentasi dan buat laporan. Wajar jika saya beranggapan, dokumentasi buat apa? mungkin saja mau buat laporkan ke atas bahwa program mereka sukses lalu minta pendanaan untuk proyek atau program lanjutan. Padahal satu tetes keringatpun  tidak pernah jatuh di lahan ini, apalagi rela berkotor-kotor dengan pasir dan lumpur di sini,” tambah Mario.
  (Dion Umbu Ana Lodu/Sindo TV/ris)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar